Air Mata Shiffin

Share this history on :

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar” (QS: Ali ‘Imran : 110)

Hey pecundang kehidupan, para penakut yang menuhankan dunia ini lebih daripada Penciptanya. Para ksatria yang lebih banyak menyembunyikan dusta daripada kebenaran. Kau labelkan dirimu pejuang ketika matamu mulai resah menyikapi realita dan idelogi.

Keresahan itulah yang membuat para pemanah meninggalkan bukit Uhud, lalu membiarkan barisan Rasulullah SAW ditelan oleh kerapuhan – kerapuhan hati yang cengeng. Karena para pejuang itu kini tidak perlu banyak mengasah tombak dan pedangnya. Mereka hanya perlu memaki baju penyeragaman diatas nama pergerakan menjadi komoditas dagang dengan label dakwah dan kebangkitan Islam. Lalu habiskan malam – malam istirahat mereka dengan mimpi akan kejayaan Islam yang mereka slogankan dengan satu stel baju berablem Palestina dan rumus – rumus khawarij yang sudah dicangkok diatas dahan para mutadzillah. Boneka – boneka ashobiyah dengan bemper ‘inikan ta’limat tandzhim’.

Atau pergilah sedikit keseberang kabilah yang lain, dengarkanlah diperang itu, kedengkian telah saling mencibir diantar pedang pendukung Ali Bin Abu Thalib Ra dan Siti Aisyah Ra. Kedua – duanya bicara atas nama Islam dan dakwah, tapi kedua – keduanya juga lupa bahwa setiap mukmin itu bersaudara (Qs 49:10).

Disetiap komunitas taklim dan dzikir, disetiap perkumpulan ilmu Robanni, kini kaum khawarij, Murjiah dan mutadzilah sudah tak perlu lagi berselisih pandang tentang apa itu tekstual dan kontekstual. Karena mereka sekarang mampu merekayasa generasi ini untuk menjalankan setiap ketololan mereka dari kejauhan sejarah. Ketika setiap kita sudah menghidupkan kembali sejarah shiffin dengan kedunguan paradigma dan kepentingan sepihak.

Sejarah nisan Abu Lu’lu’ah Al Majusy, diatas bunga bangkai Kamal Attaturk dan kolosal Abdullah bin Saba dan Abdullah bin Ubay. Ocehan – ocehan airmata shiffin yang kian marak membasahi poros watak kaderisasi generasi selanjutnya. Sambil setiap kata yang tak pernah berhenti mencibir “Bagaimana cara menegakkan khilafah tanpa demokrasi” atau sebagian lainnyapun menjawabnya “ Demokrasi Itu Kufur”. Atau parodi ‘sang ahlulsunnah’ yang mencemooh setiap orang yang dianggapnya pelaku bid’ah sambil mengantongi segenggam KTP yang sering ia perpanjang di kelurahan – kelurahan yang lahir dari demokrasi yang selalu ia anggap kufur itu.

Ketika para ‘pahlawan’ itu menjadi lebih fatal dari retorika puritanis aqidah yang kini berubah menjadi fasis dalam kedangkalan ukhuwah, atau mungkin kita memang sengaja melupakan betapa gemerlapnya kisah kasih sayang Muhajirin dan Anshor serta kabilah – kabilah Arab lainnya, suatu ketika mereka menemukan harga diri yang sebenarnya dalam ikatan keluarga besar Syahadatain yang kini telah lebih banyak di gunting dari dalam barisan umat terbaik(Qs 3:110) itu sendiri.

Maka perhatikanlah silang pendapat ini, menjadi pepesan kosong para khawarij dan mutadzillah. Dengan moderator lusinan murjiah dari kolosal risalah dakwah dengan penonton yang terkotak – kotakan antara si tradisional, si wahabi, si moderat, si awam, si garis keras, si fundamental, si sufi, si habaib, si radikal, si fiqud dakwah dan lusinan pelabelan sempit lainnya.

Kita seperti terpaku dalam kesempitan wacana dan tradisi jamaah ketika umat ini tidak habis – habis dipaksa tunduk pada lusinan tank – tank Zionisme yang merajai televisi rumah kita dengan pemaksaan konsumerisme, sekulerisme, liberalisme habis – habisan juga strategi pecah belah umat yang kian frontal, sementara segelintir perjuangan menghabiskan waktu membicarakan perdebatan Umar Ra dan Abu Bakar Ra tentang shalat malam mereka, padahal kita semua tahu jika ada banyak jalan menuju Roma. Mengapa kita selalu membiarkan diri kita terjebak pada jalan sempit dari paradigma kita dalam menyikapi semua perbedaan yang ada dalam tubuh umat ini.

Rangkaian fakta devide et impera, untuk sang anti yahudi dalam agenda yahudi. Sang patriot sejarah hitam yang kian tenggelam dalam harapan dan bangkai manusia, yang setiap realisasi perjuangannya telah menjadi sebuah wacana tulisan yang bisa diperjual belikan. Persis seperti tulisan ini kelak. Dijual atas nama dakwah, lalu dihabiskan untuk menapaki mata rantai doktrin dan ghibah para aktor yang berharap sejarah dari keriyaan eksistensi. Atau mungkin memang sudah saatnya kita memilih perang terbuka daripada menulis sebuah buku, agar bisa terlihat siapa yang kokoh dan siapa yang sebenarnya munafik.

Maka kibarkanlah bendera harokahmu, kibarkanlah bendera kolektif – kolektifmu. Sampaikanlah salam perjuangan ke setiap barisan perlawanan umat, yang berdiri di garis depan perjuangan yang membasuh setiap keringat diantara tembok – tembok bangunan yang pernah menyaksikan kejayaan Risalah Tauhid ini mengkibarkan rahmatNya ke seluruh alam semesta. Walau kini kibaran sejarah itu hanya bisa kita temukan dalam cerita perpustakaan pribadi para pejuang. Maka bawalah keluar semua energi itu dari sana. Dan kisahkanlah kepada setiap aspal dan trotoar yang terjejaki.

Bahwa hari – hari air mata shiffin ini harus berakhir. Raksasa ini harus dibangunkan, sikap kritis harus dipertahankan, dan semangat belajar, berjuang dan beramal sholeh harus semakin ditingkatkan, menemani energi ukhuwah Islamiyah yang tak hanya dapat kita ukur hanya dengan alur angin dan strategi sang elang. Karena hutan rimba juga milik para harimau, srigala, binatang melata, gajah, hingga tumbuh – tumbuhan. Mereka hidup bersama sesuai dengan fitrahnya dan mengarahkan peradaban pada pembelajaran tentang sinergitas kinerja kehidupan.

Rasakanlah intisari revolusi putih itu kini kian dekat. Lilin – lilin harus segera dimatikan, setiap rumah harus segera dikosongkan, tinggallah saja ibu – ibu para calon syuhada yang ada disana. Melahirkan para kontestan kebaikan yang tidak hanya berteriak tentang kebangkitan umat tapi juga persatuan umat.

Sedangkan yang lain, dengarkanlah panggilan dari garis depan yang telah membuat Handzallah Ra meninggalkan mandi besarnya dari sisi sang istri. Untuk sebuah panggilan mulia. Pertarungan yang tidak mengenal kalah, karena menangnya adalah kejayaan Islam dan matinya adalah Syahid di jalan Allah Swt. Tapi disana bukan tempat para pelacur ashobiyah atau semata pedagang dakwah, disana yang ada hanyalah ketulusan dari orang – orang yang memahami nasionalisme lebih dari sekedar batasan teritorial.

Beginilah kebangsaan yang sangat besar ini lahir karena ikatan karunia Si Pemilik Surga, dan diberikan hanya untuk mereka yang memangkas masa lalunya untuk berjalan diatas dua intisari itu. Maka sudah seharusnya para manusia istimewa ini sadar bahwa mereka telah bersaudara sejak Gua Hira menggores kata pengantarnya yang telah membakar batas ras, kelas, suku bangsa, latar belakang menuju satu masa kemuliaan untuk seluruh alam semesta. Tapi ini hanya untuk mereka yang memang mau untuk belajar membaca. Membaca nurani mata angin dan cahaya penuntun jejak kemuliaan yang maha dahsyat ini. Semoga Allah selalu menjaga hati kita dari niat yang tidak di ridhoiNya.

“Takkan Dapat Berkumpul Debu Dalam Jihad Fi Sabilillah Dengan Asap neraka Jahanam” (HR. Tirmidzy)

Thufail Al Ghifari - Januari 2007